Mengenang Tragedi Trisakti dan Kerusuhan Sehari Setelahnya...
Krisis yang mengguncang Indonesia pada awal 1998 menjadikan masyarakat Indonesia tak puas dengan kepemimpinan Presiden Soeharto.
Sebagai upaya protes, mahasiswa melakukan aksi turun ke jalan dan menginginkan perubahan terhadap kondisi di Indonesia.
Protes semakin besar setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat kembali memilih Soeharto sebagai presiden dan dilantik pada 11 Maret 1998.
Aksi ini semakin menyebar dan membesar ke seluruh universitas di Indonesia. Mahasiswa tak hanya berjalan sendiri, sering kali dari kelompok masyarakat ikut andil dalam aksi ini.
Pada waktu itu yang mereka hadapi adalah kekuatan dari aparat keamanan. Entah sengaja atau tidak, sering kali aksi mahasiswa disertai kericuhan. Korban pun berjatuhan, ada yang meninggal dan ada yang terluka.
Tragedi berdarah juga menimpa mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta. Sekelompok mahsiswa yang melakukan aksi turun ke jalan harus berhadapan dengan aparat keamanan.
Mediasi sudah dilakukan dengan konsekuensi mahasiswa diminta kembali ke kampus Trisakti. Namun, upaya ini tak sesuai rencana. Terdengar letusan senjata api yang berujung maut bagi empat mahasiswa.
Empat mahasiswa itu ialah Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie. Sementara yang lain mengalami luka-luka.
Ketika peristiwa ini berlangsung, ternyata Soeharto sedang melakukan kunjungannya ke Mesir untuk menghadiri KTT-G15. Di sana, Soeharto menyuarakan aksi perdamaian dan melakukan perjanjian kerja sama dengan beberapa negara anggota G-15.
Presiden Soeharto juga diberikan kesempatan mewakili kepala negara/pemerintahan G-15 menggunting pita meresmikan pameran produk dan proyek G-15.
Namun, kunjungan Soeharto ini tak sesuai dengan rencana, Soeharto balik ke Indonesia sehari lebih cepat. Permasalahan yang dihadapinya jauh lebih besar, yakni aksi mahasiswa yang semakin meluas.
TRAGEDI TRISAKSTI
Aksi ini diikuti oleh mahasiswa, dosen, pegawai, dan alumni universitas Trisaksi sekitar pukul 11.00 WIB.
Aksi yang sedianya akan mendengar orasi dari Jenderal Besar AH Nasution tapi tidak jadi datang itu kemudian diisi dengan berbagai orasi dari para guru besar, dosen, dan mahasiswa dalam berbagai bentuk.
Pada pukul 13.00 WIB, peserta aksi keluar dari kampus menuju Jalan S Parman, Grogol, dan hendak menuju gedung MPR/DPR Senayan. Mahasiswi membagikan mawar kepada aparat kepolisian yang berjaga.
Karena banyaknya mahasiswa, petugas yang sejak pagi telah berjaga-jaga di depan kampus tampaknya tidak bisa membendung dan mundur perlahan-lahan.
Namun, terjadi kesepakatan untuk tak mengadakan long march sampai di depan Kantor Wali Kota Jakarta Barat. Atas kesepakatan tersebut, mahasiswa kemudian menggelar mimbar bebas yang pada intinya menuntut pemerintah untuk secepatnya melaksanakan reformasi politik, ekonomi, dan hukum, serta menuntut dilaksanakannya Sidang Umum Istimewa MPR. Ketika mahasiswa mulai kembali ke dalam kampus, terdengar suara letusan dari belakang. Ternyata aparat menembaki mahasiswa. Puluhan lainnya kaget dan berusaha menyelamatkan diri.
Petugas keamanan menggunakan berbagai senjata seperti senapan karet dan gas air mata untuk menghalangi serangan balik dari mahasiswa.
Namun, korban tak terelakkan. Mahasiswa meluapkan kemarahannya kepada aparat yang berbuntut kericuhan. Aparat keamanan pun membalas dengan melepaskan tembakan dengan senjata tajam yang menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti dan sejumlah masyarakat sipil.
SEHARI SETELAH TRAGEDI
Tragedi Trisaksi pada 12 Maret 1998 ini merupakan pemicu aksi yang lebih besar. Setelah korban mendapatkan perawatan, pihak Universitas Trisaksi menuntut aparat keamanan terkait peristiwa ini. Mereka menuntut aparat bertanggung jawab.
Dikutip dari harian Kompas yang terbit pada 14 Mei 1998, ribuan mahasiswa Trisakti yang sedang mengadakan aksi berkabung atas gugurnya rekan-rekan mereka.
Dengan disiplin dan tegas, pihak Universitas Trisakti melarang mahasiswa keluar kampus atau mendekati pagar kampus demi menghindari insiden yang tak diinginkan.
Akan tetapi, banyaknya massa tak bisa dikontrol secara penuh dan kerusuhan pun terjadi pada 13 Mei 1998. Kerusuhan bermula dari kawasan di sekitar Kampus Trisakti yaitu Jalan Daan Mogot, Jalan Kyai Tapa, Jalan S Parman.
Menjelang sore, aksi perusakan dan pembakaran meluas ke kawasan Bendungan Hilir, Kedoya, Jembatan Besi, Bandengan Selatan, Tubagus Angke, Semanan, Kosambi.
Terjadi pembakaran sebuah truk sampah di perempatan jalan layang. Massa kemudian melempari barisan aparat yang memblokade jalan di depan Mal Ciputra dengan batu, botol dan benda lainnya.
Mereka juga mencabuti dan merusak rambu-rambu lalu lintas maupun pagar pembatas jalan. Aparat kemudian mengeluarkan rentetan tembakan peringatan dan gas air mata, yang membuat massa lari.
Kerusuhan juga terjadi di Jl Jenderal Sudirman, tepatnya di depan Gedung Wisma GKBI, Gedung BRI I dan II, serta pasar dan pusat pertokoan Bendungan Hilir (Benhil).
Mereka juga mencabuti dan merusak rambu-rambu lalu lintas maupun pagar pembatas jalan. Aparat kemudian mengeluarkan rentetan tembakan peringatan dan gas air mata, yang membuat massa lari.
Kerusuhan juga terjadi di Jl Jenderal Sudirman, tepatnya di depan Gedung Wisma GKBI, Gedung BRI I dan II, serta pasar dan pusat pertokoan Bendungan Hilir (Benhil).
Kerusuhan bermula ketika ratusan mahasiswa Unika Atma Jaya menggelar aksi keprihatinan dan duka cita bagi para mahasiswa yang menjadi korban dalam insiden di Universitas Trisakti, sekitar pukul 13.00 WIB.
Aksi ini disambut ratusan pegawai yang berkantor di depan kampus Unika Atma Jaya dan warga yang tinggal di kawasan Benhil dan seputar kampus. Gabungan pegawai dan warga itu berdiri di depan Gedung BRI I dan II, yang berhadapan dengan Kampus Unika Atma Jaya.
Aksi ini disambut ratusan pegawai yang berkantor di depan kampus Unika Atma Jaya dan warga yang tinggal di kawasan Benhil dan seputar kampus. Gabungan pegawai dan warga itu berdiri di depan Gedung BRI I dan II, yang berhadapan dengan Kampus Unika Atma Jaya.
Aksi ini juga meluas pada beberapa titik di Jakarta. Pembakaran gedung, mobil, dan penjarahan toko berlangsung setelahnya.
Bulan Mei pun dikenang masyarakat Indonesia sebagai bulan duka atas munculnya korban jiwa akibat aksi kerusuhan.
Besarnya kerusuhan itu menyebabkan situasi pemerintahan tidak stabil. Soeharto pun semakin sulit memegang kendali pemerintahannya.
Besarnya kerusuhan itu menyebabkan situasi pemerintahan tidak stabil. Soeharto pun semakin sulit memegang kendali pemerintahannya.
Beberapa hari kemudian, aksi mahasiswa semakin besar dan bergerak ke Gedung DPR/MPR. Tak butuh waktu lama hingga akhirnya mahasiswa menguasainya pada 18 Mei 1998.
Kondisi ini menyebabkan Soeharto semakin terpojok. Hingga akhirnya, The Smiling General itu memutuskan mundur pada 21 Mei 1998.
Komentar
Posting Komentar